Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah
oleh : Parlina Susi Siswanti
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Muhammadiyah di Indonesia dikenal sebagai organisasi gerakan social
keagamaan, kemanusiaan dan pendidikan. Hamper di setiap daerah perkotaan dapat
ditemukan berbagai amal usahanya, baik yang berupa lembaga peribadatan, rumah
sakit, panti asuhan maupun lembaga pendidikan. Secara awami pusat kegiatan sosial
yang telah mapan di dalam kehidupan masyarakat Indonesia .
Muhammadiyah merupakan organisasi yang mampu berkembang dalam waktu yang
relative singkat, Sejarah berdirinya suatu organisasi tidak dapat dipisahkan
dari gagasan dan pikiran pendirinya. Sebab orang-orang yang kemudian bergabung
menjadi anggota secara sadar telah menyepakati dasar dan tujuan organisasi
tersebut yang pada hakikatnya merupakan perwujudan dari gagasan para
pendirinya.
Gagasan Ahmad Dahlan yang terpilih adalah bagaimana dapatnya mengamalkan
ayat-ayat al-Qur`an. Dengan demikian Muhammadiyah sebagai organisasi senantiasa
diikhtiarkan untuk menjadi tempat untuk mengkaji Al-Qur`an sekaligus menjadi
tempat bermusyawarah untuk mengamalkannya.
Dengan demikian warga Muhammadiyah masih perlu mempelajari gagasan dan
pikiran KH. Ahmad Dahlan. Terutama yang berkaitan dengan Ibadah Sholat tepat
waktu dan pengamalan ayat-ayat Al-Qur`an, hal itu tidak dimaksud untuk
mengikuti jejaknya secara dokmatik tetapi untuk memberi makna kreatif guna
penerapannya pada masa kini. Sebab gagasan dan pikiran KH. Ahmad Dahlan jelas
merupakan gagasan dan pikiran kreatif dan inovatif.
1.2 Rumusan Masalah
Untuk itu, persoalan pokok diatas dapat distribusikan
menjadi masalah epistemologi yang lebih khusus sebagai berikut :
1.
Bagaimana proses Islamisasi di Jawa?
2.
Bagaimana proses terbentuknya Muhammadiyah? Dan apa
yang menyebabkan adanya Gerakan Muhammadiyah?
3.
Apa saja gagasan pembaharuan Muhammadiyah?
4.
Bagaimana perkembangan pemikiran pembaharuan?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menginformasikan sejarah awal
Islamisasi Jawa, pembentukan Muhammadiyah dan gagasan-gagasan pembaharuan
Muhammadiyah serta perkembangannya.
BAB II
Pembahasan
2.1 Islamisasi Jawa : Perkembangan dan
Transformasi Keagamaan
2.1.1.
Perluasan agama Islam
Islam-Jawa atau Jawa-Islam adalah kombinasi yang unik. Dalam budaya Jawa
memadukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu, Buddha, dan Islam. Konsep identitas
budaya terbenguun secara sosial dalam konteks histories dan geografis, yang
berubah seiring dengan waktu.[1]
Sering terdengar kesepakatan di kalangan sementara ahli sejarah bahwa
Islam mulai mmasuki kehidupan orang jawa sejak tumbuhnya kerajaan-kerajaan
besar di bagian timur pulau Jawa (dititikberatkan pada daerah tengah dan
timur). Kuatnya kerajaan Majapahit bagi Islam ternyata tidak hanya memiliki
arti luas bagi pembangunan suatu gaya
hidup yang selaras dengan pandangan Jawa-Hindu,melainkan paralel dengan proses
tersebu ternyata telah menyebabkan Majapahit harus meningkatkan intensitas
hubungan dengan Negara lain, dan hubungan tersebut memberikan kesempatan yang
positif bagi orang jawa ke dalam agama Islam.[2]
Kerajaan Majapahit menguasai laut dan pantai-pantai penting di sekitar
Jawa, di sana
terjadi perdagangan yang yang kemudian lambat laun menjadi pusat perniagaan.
Kemudian banyak bermunculan kerajaan-kerajaan kecil di bagian utara pulau
Sumatera, sementara itu para saudagar Islam dari daerah Asia Barat berhasil
menguasai jalur perekonomian daerah itu dengan membawa agama Islam. Para pedagang Islam yang biasanya adalah laki-laki itu
menjadi orang yang dihormati penduduk karena memiliki status ekonomi yang lebih
baik, sehingga banyak orang tua yang ingin menikahkan puteri mereka, dan untuk
itu, para calon istri harus di-Islam-kan dulu dengan cara membaca syahadat[3].
Islam adalah agama yang membebaskan mereka dari kultur yang mengakui adanya
“stratifikasi pemeluk agama” yang membedakan kedudukan dan status antara
kalangan atas dan kalangan bawah. Ditambah lagi dalam Islam tidak ada
upacara-upacara tertentu yang rumit.
Sehingga penduduk yang memeluk agama Hindu-Buddha merasa senang pindah
agama.sedang dari segi ekonomi, perpindahan keagaan itu sangat menarik karena
akan mampu mengundang para pedagang Muslim dalam jumlah yang lebih besar.
2.1.2. Politik Pemerintah Hindia Belanda terhadap Islam
Melihat peranan Islam dalam masyarakat desa, maka pemerintah Hindia
Belanda menyadari bahwa agama Islam merupakan ancaman bagi kedudukannya.
Sebagai penguasa yang ingin mempertahankan kekuasaannya, maka pemerintah
colonial berkeinginan menciptakan stabilitas social pedesaan den menghantikan
kegiatan yang mencerminkan berbagai bentuk keresahan sosial yang dipimpin oleh
Islam.
Untuk kepentingan tersebut maka pertama-tama yang dilakukan adalah dengan
melakukan pembatasan bagi jemaah haji (usaha eksternal). Dan usaha yang
bersifat internal adalah program asosiasi (program Westernisasi) dan program
Kristenisasi (Kristening Politiek (digagas
oleh Gubernur Jendral Idenburg) ). Program
asosiasi adala program pembudayaan dalam bentuk mengembangkan kebudayaan Barat
sedemikian rupa sehingga orang Indonesia
mau menerima kebudayaan Barat. Sedangkan program Kristenisasi yaitu program
yang ditujukan untuk mengubah agama penduduk yang Islam maupun bukan Islam
menjadi Kristen. Dengan adanya program ini, sejarah mencatat bahwa setelah
tahun 1909 kelompok-kelompok misi Kristen ini sangat cepat memperluas kegiatan
mereka di daerah kepulauan.
Bangsa Hindia Belanda menganggap selama mereka yang masih menampakkan
keislamanannya, mereka tidak dapat disebut sebagai orang modern, orang yang
berkemajuan, dan sebagainya.[4] Realitas
yang demikian telah mendorong Islam bangkit sebagai kekuatan social dan politik
secara nyata yang dianggap mewakili kalangan pribumi dalam menentang kehadiran
Belanda melalui organisasi modern.
2.1.3. Gerakan Pembaharuan Islam
Berbagai peristiwa sejarah yang terjadi di Jawa telah menimbulkan
lahirnya gerakan-gerakan yang mengarah ke corak kebangsaan. Superioritas orang
kulit putih yang terkalahkan oleh orang kulit berwarna memunculkan
organisasi-organisasi di Jawa. Pada sekitar tahun 1905 lahirlah Jami’atul Khair di Jakarta . Kemudian muncul pula organisasi yang
didirikan oleh kaum terpelajar, seperti Budi Utomo ( 1908), Sarekat Dagang
Islam (1911), Muhammadiyah (1912), dan lain-lain.
Maka, untuk sementara dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya keadaan
sosio-kultural dan politik yang ada di Jawa selama akhir abad ke-19 dan awal
abad ke-20 telah mendorong tumbuhnya pemikiran baru pada pemimpin Islam untuk
melakukan pembaharuan-pembaharuan yang bersifat fundamental dan metodis.
2.2 KH. Ahmad Dahlan dan
Purifikasi Islam Jawa : Muhammadiyah
2.2.1. Latar Belakang Kehidupan dan
Pemikiran KH. Ahmad Dahlan
Kyai Haji Ahmad Dahlan pada masa mudanya bernama Muhammad Darwisy.[5] Ia
lahir pada 1868. Ia berasal dari keluarga berpengaruh dan terkenal di
lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Ayahnya, Kyai Haji Abu Bakar bin Kyai Mas
Sulaiman ialah seorang ketib, seorang
abdi dalem. Ibunya, Siti Aminah ialah
putri seorang penghulu ( kepala abdi dalem pamethaan ), Kesultanan
Yogyakarta, yaitu Haji Ibrahim bin Kyai Haji Hasan. Genealogi ini menunjukkan
bahwa tak ayal Ahmad Dahlan ialah keturunan keluarga kyai-priyayi.[6]
Ia tinggal di Kauman[7],
yang dikenal sebagai daerah lingkungan santri. Kauman berasal dari bahasa Arab
“qaum” yang bermakna “pejabat
keagamaan” atau abdi dalem santri.[8]
Dahlan kecil mendapat pendidikan dari ayahnya, ia diajar untuk menghafal
sifat-sifat Allah dan membaca Al-Qur’an. Ia tidak dikirim ke lembaga pendidikan
formal yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda yang dikenal dengan
sekolah Gubernemen, karena akan
dianggap kafir oleh masyarakat.
Selain itu ia juga belajar berbagai ilmu dari beberapa guru agama, antara
lain Kyai Haji Muhammad Saleh Darat Semarang, dan Kyai Haji Abdul Hamid
Lempuyang. Guru umumnya antara lain R.Ng. sosrosoegondo dan R. wedana
Dwijiosewojo. Kitab-kitab yang ia pelajari adalah kitab-kitab yang berhubungan
dengan ilmu fiqh (hukum Islam), ilmu nahwu (sintaksis bahasa Arab), ilmu falaq (astronomi dan geografi), serta qira’ah (seni membaca Al-Qur’an), dan
ilmu hadits (nilai-nilai ketradisian
Nabi Muhammad).
Kabarnya ayah Darwisy menikahkannya dengan Siti Walidah, putrid Kyai Haji
Muhammad Fadhil, seorang penghulu Yogyakarta ,
pada 1889. Pada usia 22 tahun, ia dikirim ayahnya ke Mekah untuk menunaikan
ibadah haji dan memperdalam pengetahuannya tentang Islam. Sepulangnya ke Kauman
ia membantu ayahnya mengajar keagamaan kepada orang-orang yang usianya lebih
tua dari dirinya sendiri. Karena kepercayaan masyarakat yang besar padanya, dan
ia adalah orang yang taat beragama serta baik dalam ilmu maupun budi, ia
digelari dengan sebutan “Kyai”. Lengkapnya Kyai Haji Ahmad Dahlan.
Sebagai seorang kyai, maka Dahlan dikategorikan sebagai ngulomo (ulama), yaitu orang yang saleh
dan menekuni serta memiliki wawasan keilmuan tentang agama Islam. Istilah
tersebut searti dengan istilah intelektual[9]. Di
Mekah, Dahlan telah mendalami berbagai ilmu agama[10],
namun Dahlan tertarik untuk mendalami ilmu falaq.
Itulah sebabnya masyarakat mengenal Dahlan sebagai ngulomo falaq.
Sebagai seorang ulama sekaligus kepala keluarga, Dahlan harus mencukupi
kebutuhan-kebutuhan keluarganya, untuk itu ia dimodali ayahnya uang sebesar f
500, yang dipergunakannya untuk modal pertama perdagangan batik. Usahanya
semakin maju, sehingga lingkup daerah pemasarannya menjangkau daerah Jawa
bagian barat, Jawa bagian timur, bahkan sampai ke daerah Sumatera bagian utara.
Melalui perdagangan ini, Dahlan memperoleh perluasan cakrawala berpikir, karena
saat ia mendistribusikan barang dagangannya, tak lupa ia mengunjungi ulama
setempat untuk bertukar pikiran. Dialog-dialog keagamaan telah mendorong Dahlan
untuk mengembangkan berbagai pemikiran tentang re-orientasi pengalaman ajaran
agama secara benar, sesuai dengan semangat dan ajaran aslinya. Pemikiran ini
memperoleh tanggapan yang berbeda-beda. Terlepas dari itu, kegiatan tersebut
merupakan suatu keaktifan social yang memberi peranan besar untuk membangun
semangat sebagai kekuatan baru bagi pengembangan pemikiran pembaharuan, karena
kemakmuran akibat keuntungan yang diperoleh serta dialog-dialog merupakan suatu
hal yang mendukung terciptanya kebebasan berpikir. Melalui perdagangan dapat
mengembangkan rasa persaudaraan dan sebagai forum penyebarab pemikiran dan rasa
keagamaan. Dahlan menganjurkan pada para ulama yang diajaknya berdialog agar
mereka memperbaiki umat Islam dan meningkatkan pengetahuannya.
2.2.2. Gagasan Pembaharuan dan
perjuangan Dahlan
Pada tahun 1896, ayah Dahlan meninggal dunia, sehingga Ahmad Dahlan
ditunjuk sebagai ketib di Masjid
Agung Kauman, Yogyakarta . Dengan
pengangkatannya itu, ia berkedudukan sebagai seorang pejabat tinggi keagamaan
di lingkungan Kesultanan Yogyakarta, karena ia merupakan abdi dalem santri yang bekerja di bawah pimpinan Kanjeng Raden
Tumenggung Penghulu, juga merangkap sebagai anggota Dewan (Raad) Agama Islam hukum Kraton. Salah satu tugasnya adalah memimpin
grebeg (upacara kerajaan) yang
dilaksanakan 3 kali : grebeg maulud atau sekaten (peringatan kelahiran Rasulullah), grebeg besar (peringatan Hari Raya Idul Qurban), dan grebeg pasa (menyatakan rasa syukur atas
telah berhasilnya menunaikan ibadah puasa Ramadhan). Ia berkhutbah satu kali
dalam satu bulan, sisanya digunakan untuk berdagang dan memperdalam serta
menyebarluaskan ilmu dan agama melalui berbagai forum pengajian. Tak berapa
lama ia mendapat gelar Ketib Amin[11].
Dahlan merupakan orang yang giat dalam hal menuntut ilmu, ia telah
menunjukkan prestasi diri sejak awal kariernya, namun yang demikian memberi
dampak yang tidak kecil atas penyebaran gagasan-gagasannya yang nantinya akan
dikemukakan kepada masyarakat. Meskipun gagasan-gagasannya berbeda dengan
pemikiran keagamaan masyarakat zaman itu yang mempunyai landasan pemikiran yang
principal dipandang dari sudut filsafat ilmu, karena dalam pada itu Dahlan
sudah mendahului pemikiran untuk menerapkan kebebasan berpikir yang berpangkal
dari keyakinan Qur’aniyah guna
meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber aslinya
(Al-Qur’an) dengan penafsiran yang bersesuaian dengan akal pikiran sehat yang
dapat dipertanggungjawabkan secara kaidah berpikir keilmuan. Hal itu bermula
dari upaya Dahlan menerapkan aksiologi ilmu falaq
yang didalaminya untuk reformulasi konsep kiblat (qiblat).
Kiblat berarti arah[12].
Konsep ini dalam Islam berkaitan dengan pelaksanaan syariat agama, yang berupa
ibadah salat[13]. Salah
satu kejadian penting yang terkait erat dengan posisi Dahlan sebagai ulama dan
abdi dalem adalah saat ia berpendapat bahwa arah kiblat Masjid Agung Yogyakarta
tidaklah tepat, sehingga menyarankan dibuatnya arah kiblat yang baru. Bagi
Dahlan hal ini sangatlah penting, karena berdasar penerapan pengetahuan empiris
yang dimilikinya keadaan tersebut dapat mempengaruhi kesempurnaan ibadah salat seluruh
umat Islam yang ada di daerah Jawa ini. Untuk menyatakan gagasan itu, pada
akhir tahun 1897 ia mengedarkan surat undangan kepada para ulama di daerah
Yogyakarta, dan pada awal tahun 1898 pertemuan untuk tukar pikiran tentang
gagasan modifikasi kiblat salat dapat dilaksanakan[14].
Dahlan memiliki beberapa murid yang setia padanya, Setelah melalui perjalanan
panjang akhirnya masalah kiblat dapat diatasi.
Gagasan-gagasan Dahlan sebagai aksidental dari ilmu yang didalami, ketelasanannya
sebagai Ketib Amin, serta usahanya
yang sungguh-sungguh untuk melakukan sosialisasi ide melalui forum keilmuan
yang berlaku di kalangan umat Islam yang ada pada waktu itu, telah menyebabkan
gagasan pembaharuan Dahlan mempunyai pengaruh yang besar, dan berkenan dipahami
oleh Sultan sebagai pemegang otoritas tertinggi di segala bidang kehidupan
daerah Kesultanan. Kesediaan Sultan untuk dapat menerima gagasan pembaharuan
sebagai aksidental ilmu itu terjadi pada saat penentuan waktu jatuhnya Hari Raya
“Idul Fitri”.
Meskipun Dahlan memiliki gagasan yang progresif disbanding pemikiran
lingkungan, akan tetapi cara dan gaya
Dahlan dalam menyampaikan gagasannya, ia akrab dengan lingkungan. Keakraban ini
didasarkan atas kesadaran Dahlan tentang dirinya di tengah lingkungan tatanan
konsentrisme. Sehingga meskipun ia berusaha menerobos tatanan tersebut namun
karena ia menyadari posisinya secara proporsional sebagai seorang abdi dalem, serta kesadarannya tentang kultur merupakan bagiandari
kehidupan, sehingga dalam menyampaikan gagasannya tetap menghormati system
social yang berlaku, serta gagasannya itu tidak pernah menyerang personal
melainkan hanya mengemukakan pemikiran
alternative yang lebih dapat dipertanggungjawabkan, karena memang merupakan
aksidental ilmu pengetahuan yang diterapka untuk menafsirkan dan meluruskan
praktik keagamaan.
Nilai kebebasan berpikir Dahlan yang bersandar pada suatu disiplin
pengetahuan guna memberikan pemikiran alternative merupakan suatu pembaharuan
berpikir yang sangat bernilai, mengingat bahwa sejak pra-berdirinya
Muhammadiyah ternyata telah bersemai cara berpikir menjauhi budaya “mencari
selamat”.
Dengan demikian maka jelas bahwa nilai pembaharuan Dahlan sejak awalnya
menunjukkan pentingnya peranan ilmu pengetahuan bagi pembaharuan masyarakat
dengan mengetengahkan pemikiran stabilisasi politik tanpa dengan mempertahankan
keadaan status quo. Dilihat dari spektrum
pembaharuan hal itu merupakan suatu rekonseptualisasi pemikiran keagamaan yang
sangat mendasar bagi kebangkitan paham modernisme Islam di kalangan masyarakat
Jawa yang umum mendambakan kehidupan yang tidak menonjolkan sikap pertentangan.
Mungkin faktor inilah yang menyebabkan akhirnya perubahan pandangan dapat
diterima oleh Sultan dalam jarak waktu yang relative singkat.
2.2.2.1. Pengaruh Modernisme Islam
Sebagai akibat sampingan dari keberanian Dahlan mengemukakan gagasan
pembaharuan dalam masyarakat Jawa yang konformis, serta keberhasilan dia
meneroboskan gagasannya kepada Sultan, ia diasingkan dan puncaknya langgar-nya dibongkar, sehingga pada
saat keberangkatannya ke Mekah untuk kedua kalinya pada tahun 1903, tersebar
desas-desus di kalangan keraton dan kolonial Belanda bahwa Dahlan dibuang
Sultan. Dahlan makin memperdalam pemikiran keagamaan Ibnu Taimiah dan Muhammad
Abduh (para modernis Islam) yang menitikberatkan pada pemurnian Tauhid[15] melalui
suatu pemikiran dan penelitian yang didasarkan atas epistemology, sehingga
tidak beriman secara taqlid[16].
Pemikiran keagamaan tokoh modernis ini bersesuaian dengan pandangan dan
pemikiran Dahlan yang berkeinginan melakukan perbaikan kehidupan keagamaan
masyarakat Jawa sesuai dengan pemahaman yang benar.
Sepulangnya kembali dari Mekah, Dahlan memperkenalkan gagasan
pembaharuannya secara lebih utuh, yaitu gagasan pembaharuan yang merupakan
usaha memperbaiki persoalan-persoalan yang manifest namun disadari bahwa
keadaan itu bukan sekadar persoalan incidental tetapi memang telah berakar pada
akar yang laten, yaitu pandangan dan keyakinan yang menyalahi kebersihan
katauhidan, usaha yang mengada-ngada dalam agama, serta usaha yang tidak
didasarkan atas pertimbangan rasio yang mandiri.
Pada masa itu praktik keagamaan rusak karena munculnya sikap dan perilaku
bid’ah[17] dan khurafat[18].
Beberapa bentuk bid’ah dan khurafat
yang telah dieliminasi Dahlan adalah upacara
slametan. Ia tidak menyetujui adanya pengkeramatan kuburan atau orang suci,
upacara tahlil dan Talqin[19].
Dahlan menentang pula kepercayaan pada jimat,
pusoko, dan lain-lain. Bagi Dahlan, semua itu merupakan perbuatan syirik. Ajaran-ajaran yang tidak Islam
harus diluruskan, untuk itu maka diperlukan pedoman Islam yang berdasarkan
Qur’an, selain itu juga memakai dasar sumber komplementer yang berupa hadits, ijma’, dan qiyas.
Beberapa hal yang menurut Dahlan akan menyebabkan orang menolak
kebenaran:
1.
kebodohan,
2.
kekurangcocokan dengan pelopor inisiatif kebenaran,
3.
sudah memiliki tradisi atau kebiasaan yang maluriah,
4.
rasa kuatir kalau dengan persetujuan terhadap kebenaran
itu akan diisolasikan oleh keluarga dan kalangannya, serta
5.
rasa kuatir akan kehilangan pangkat dan kedudukan atau
kesenangannya, atau juga maksud-maksud lainnya.
Beberapa pemikiran Dahlan yang ia sampaikan untuk direnungi dan dibahas
secara intelektual atas proposisi:
1.
manusia perlu dan harus beragama,
2.
agama itu tadinya bersinar, makin lama makin suram.
Sebetulnya bukan agama itu yang suram, melainkan manusia yang memeluk agama
itu,
3.
manusia harus mendasarkan diri pada dasar yang sah,
yang sudah cocok dengan pemikiran fitrah, jangan sampai dalam hal yang seperti
itu membuat suatu keputusan sendiri,
4.
manusia harus berusaha menambah pengetahuan, jangan
sampai merasa puas dengan apa yang sudah berhasil dicapainya, serta
5.
manusia harus mengamalkan pengetahuan itu, jangan
sanpai hanya berhenti di teori belaka.
Pemikiran-pemikiran Dahlan pada zamannya terlepas dari sifat konformis
pemikiran masyarakatnya. Terutama dalam hal kebebasan berpikir dan menggunakan
multi dimension dalam mempelajari Al-Qur’an.
Pada tahun 1905 Dahlan bergabung di organisasi Jami’atul Khair, di sana ia belajar berbagai
pengalaman mengenai keorganisasian dan perkembangan ilmu. Selain itu, pada
tahun 1909 ia juga menjadi anggota organisasi Boedi Oetomo[20].
Ia tergolong anggota yang aktif, dan belakangan masuk jajaran kepemimpinannya. Sebagai
anggota Boedi Oetomo, Dahlan mempunyai gagasan untuk memasukkan pengajaran
agama Islam ke sekolah model Gubernemen.
Setelah gagasan tersebut disetujui Boedi
Oetomo , ia pun
mengajar agama Islam di Kweek School
Jetis, Yogyakarta , dan di Osvia, Magelang.
Di samping itu, dahlan memiliki keinginan untuk mendirikan sekolah dengan
organisasi yang teratur sebagai alternative bentuk-bentuk pesantren. Melalui
sekolah itu, diharapkan akan menghasilkan keluaran yang baik, intelektual di
bidang agama dan lainnya. Pemikiran imerupakan suatu pembaharuan pendidikan
Islam dan pendidikan sekuler sesuai dengan tuntutan sosio-kultural Jawa yang
harus menghadapi tantangan pengaruh system pendidikan Barat, sebagai salah satu
bentuk kompleksitas masyarakat.
Demikianlah maka pada tahun 1911 Dahlan di tempat kediamannya, Kauman,
mendirikan sekolah agama yang menggunakan metode pendidikan Barat yang
menggunakan kursi, bangku dalam bentuk klasikal. Dari persoalan pengelolaan
model sekolah ini nantinya akan sampai pada pemikiran perlunya dibentuk suatu organisasi
tersendiri.
2.2.2.2. Berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan oleh Ahmad Dahlan pada 18 Dzulhijjah 1330 Hijriah
atau 12 November 1912 masehi di Yogyakarta. inspirasi di balik pendirian
Muhammadiyah tentu saja terkait dengan interaksi social dan kegiatan Dahlan
dalam Boedi Oetomo. Juga didasari oleh Al-Qur’an surat ‘Ali ‘Imran ayat 104. dalam persiapan pembentukan organisasi ini,
lagi-lagi kerja sama Dahlan dan Boedi Oetomo terjalin. Anggaran Dasar, tujuan,
cita-cita gerakan ini merupakan hasil dialog dan diskusi yang intensif antara
Ahmad Dahlan, teman-temannya, dan para anggota Boedi Oetomo.
Untuk mengembangkan Muhammadiyah lebih lanjut padahal ruang gerak
Muhammadiyah terbatas di Yogyakarta , maka
dibentuklah kelompok-kelompok pengajian dan perkumpulan-perkumpulan yang
sejalan dengan Muhammadiyah dalam menjalankan kepentingan Islam.
2.2.2.3. Perkembangan Muhammadiyah
Perkembangan Muhammadiyah mulai meluas karena Dahlan sering diminta
memberikan pengajian ke berbagai tempat di Jawa, ini merupakan langkah awal
bagi perkembangan Muhammadiyah ke luar daerah Yogyakarta .
Karena itu beberapa daerah di luar kota
itu meminta untuk dapat mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di kotanya.
Kemudian Dahlan meminta izin untuk mendirikan cabang di luar kota pada pemerintah Hindia Belanda.
Perluasan cabang ini dipermudah oleh berbagai factor. Antara lain pribadi
Dahlan dan caranya berproganda dengan memperlihatkan toleransi dan pengertian
kepada para pendengarnya sangat membantu memperoleh sambutan yang memuaskan.
Dengan keluarnya izin dari pemerintah Hindia Belanda maka cabang-cabang
Muhammadiyah pun didirikan.
Bagi kelestarian organisasi, Muhammadiyah memprogramkan agar
kegiatan-kegiatan yang sifatnya permanent. Maka didirikan lembaga-lembaga social,
seperti penyelenggaraan kursus, pendidikan, maupun panti asuhan. Lembaga yang
lain adalah Aisyiah, Nasyi’atul-Aisyiyah,
Hizbul Wathan, Majelis Tarjih, Pemuda Muhammadiyah, Majelis Pustaka, Tapak
Suci, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Untuk
memperoleh masukan dari para anggota organisasi, maka dilaksanakan siding
tanwir dan muktamar.
2.3. Gagasan Pembaharuan
Muhammadiyah
2.3.1. Gagasan Pembaharuan
2.3.1.1. Sifat Organisasi dan Keterkaitan Budaya
Muhammadiyah merupakan organisasi sebagai alat bagi kepentingan
penyebarluasan ajaran agama Islam di daerah Keresidenan Yogyakarta. Secara umum
cirri suatu gerakan keagamaan terletak pada motivasi utama yang mendorong
munculnya pergerakan melalui diri pemimpin-pemimpinnya.
KH. Ahmad Dahlan
dalam berorganisasi berpegang pada prinsip:
1.
Senantiasa menghubungkan diri (mempertanggungjawabkan
tindakannya) kepada Allah.
2.
Perlu adanya ikatan persaudaraan berdasar kebenaran (sejati).
3.
perlunya setiap orang, terutama para pemimpin
terus-menerus menambah ilmu, sehingga dapat mengambil keputusan yang bijaksana.
4.
Ilmu harus diamalkan.
5.
Perlunya dilakukan perubahan apabila memang diperlukan
untuk menuju keadaan yang lebih baik.
6.
Mengorbankan harta sendiri untuk kebenaran. Ikhlas dan
bersih.
Watak Muhammadiyah yang tidak terpisah dari jiwa lingkungan daerah itu
telah menyebabkan Muhammadiyah memiliki daya adaptasi yang didasarkan pada rasa
kesadaran lingkungan kultural. Karena watak sosialisasinya itu, Muhammadiyah
memiliki gaya
pembaharuan Islam yang berbeda dengan gerakan pemurnian Islam lain yang
bergerak di bidang social. Peristiwa kesejarahan tersebut memiliki implikasi
yang menumbuhkan keyakinan bahwa dalam masyarakat Jawa-Islam itu tidak mungkin
bersifat “kulturfeindlich” (memusuhi
kebudayaan), dari titik tolak itu diusahakan untuk dapat menemukan kembali
cita-cita (modern) dalam Islam.
Muhammadiyah untuk ada pada titik tengah (wasathan) antara garis konformis masyarakat Jawa dengan garis
eksklusif gerakan modernisme Islam pada umumnya. Keseimbangan seperti ini yang
memberikan cirri khusus Muhammadiyah dalam hal sosio-kultural, kecuali dimensi
Tauhid.
2.3.1.2. Gagasan Pemurnian Islam
Menurut keyakinan Muhammadiyah, Islam yang murni adalah keyakinan dan
amal keagamaan yang hanya berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Muhammadiyah
berusaha mengembalikan pelaksanaan agama Islam sesuai dengan contoh Nabi dengan
cara ittiba’[21].
Usaha Muhammadiyah bagi pemurnian Islam itu menggunakan alat organisasi
dan kepemimpinan yang mementingkan keutamaan, keikhlasan dan pertanggungjawaban
dunia akhirat.
2.3.1.3. Pokok Ide Purifikasi
Pandangan tentang Tuhan telah meletakkan pengertian Tuhan itu bersifat
fungsional, yaitu bahwa Allah adalah Tuhan yang mencipta, memelihara, memberi
petunjuk, adil, dan belas kasih yang sangat berkelindan sebagai kesatuan yang
organis.dengan cara pemberian kesempatan bagi kebebasan berpikir yang diimbangi
dengan moralitas yang terpuji dapat memberantas syirik.
2.3.1.4. Ijtihad dan Moralitas Islam
Ide dasar Dahlan, yang kemudian dikembangkan melalui Muhammadiyah, adalah
menentang sikap taqlid dan
menganjurkan ijtihad guna menentukan
kepastian hukum. Ijtihad berasal dari
bahasa Arab Jaddada-yujaddidu-tajdidan,
yang berarti memperbaharui sesuatu. Dari kata tersebut dibentuk kata ijtihaadan (berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk memperbaiki sesuatu).
Muhammadiyah memiliki 2 prinsip kebebasan berpikir, yaitu ijtihad dan istinbath[22].
2.3.1.5. Ideologi dan Etos Kerja
Dalam pembaharuannya, Muhammadiyah telah meletakkan etos kerja yang dilandasi
oleh nilai adhikodrati Qur’aniyah. Kenyataan tersebut diungkap dalam rumusan amar ma’ruf nahi munkar.
2.3.2. Perkembangan Pemikiran
Pembaharuan
Muhammadiyah telah melalui kemajuan yang luar biasa, sehingga banyak
pedagang yang mulai mencela pikiran-pikiran pembaharuan Muhammadiyah, perang
panas pun sempat terjadi, namun ada beberapa yang ingin mempertahankan tradisi
selayaknya upacara keagamaan, namun aspirasi tersebut ditolak sehingga mereka
membentuk Nahdlatu’l Ulama yang masih
berusaha mempertahankan dan mengembangkan praktik keagamaan Islam masyarakat
tradisional yang disebut bid’ah.
2.3.2.1. Dua Belas tafsir langkah Muhammadiyah
Rumusan konsep pemikiran pembaharuan itu meliputi: (1) Memperdalam
masuknya iman, (2) Memperluas paham keagamaan, (3) Membuahkan budi pekerti, (4)
Menuntun amalan intiqad (corrective),
(5) Menguatkan persatuan, (6) Menegakkan keadilan, (7) Melakukan kebijaksanaan,
(8) Menguatkan Majlis Tanwir, (9) Mengadakan
konferensi bagian, (10) Memusyawarahkan keputusan, (11) Mengawaskan gerakan
jalan, dan (12) Mempersambungkan gerakan luar.
2.3.2.2 Kepribadian Muhammadiyah
Menurut rumusannya, Muhammadiyah memiliki 10 sifat
spesifik, yaitu: (1) banyak beramal dan
berjuang, untuk perdamaian dan kesejahteraan, (2) memperbanyak kawan dan
mengamalkan ukhuwah Islamiyah, (3) lapang dada, luas pandangan dengan memegang
teguh ajaran Islam, (4) bersifat
keagamaan dan kemasyarakatan, (5) mengindahkan segala hukum, undang-undang,
aturan serta dasar dan falsafah Negara yang sah, (6) Amar ma’ruf nahi munkar, (7) aktif dalam perkembangan masyarakat
dengan maksud ishlah dan pembangunan sesuai dengan ajaran Islam, (8) Kerja sama
dengan golongan Islam manapun juga, (9) membantu pemerintah serta bekerja sama
dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun negara, (10) bersifat adil
serta korektif ke dalam dan luar kebijaksanaan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Ditinjau dari suatu organisasi pembaharuan,
pemikiran pembaharuan Muhammadiyah sangat ditentukan oleh berbagai factor,
sebagaimana halnya semua gejala social. Peristiwa ini dapat ditempatkan di
dalam konteks perkembangan masyarakat, baik dari kelembagaab social, politik
maupun keagamaan.
Seperti yang telah ditunjukkan, di dalam
Muhammadiyah terdapat tradisi untuk melakukan usaha pemurnian ajaran agama
sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, dan tradisi itu mendorong Muhammadiyah
untuk selalu mengembangkan pemikirannya sehingga usaha tersebut dapat
direalisasi. Pengembangan pemikiran untuk merealisasi pemurnian Islam itu
selalu tumbuh, karena pemurnian ajaran Islam yang bersumber pada Tauhid akan
direfleksikan dalam sikap ijtihadiah, moralitas, dan etos kerja dalam bentuk
perubahan dan inovasi kelembagaan social.
Ciri yang paling menonjol sejak awal berdirinya
Muhammadiyah adalah penolakan terhadap pemikiran yang bersifat sinkretik dalam
hal kepercayaan kepada Tuhan dengan segala perwujudannya, serta sifat bid’ah dan khurafat dalam amal ibadah. Salah satu unsure fundamental dari
penolakan tersebut diwujudkan dalam bentuk konsepsi dan amaliah nyata bagi
purifikasi ajaran keagamaan dengan mengembalikan otoritas Qur’an dan Sunnah
sebagai sumber primer. Usaha purifikasi terseut diimplementasikan dalam tradisi
berpikir bebas (ijtihadiah) yang
didukung oleh alat Bantu berpikir keilmuan.
Dari tradisi itu terlahir suatu profil manusia dan
oraganisasi yang merefleksikan keterpaduan antara kebebasan berpikir dengan
dimensi keagamaan, dari profil semacam itu besar kemungkinan akan melahirkan
perilaku yang mengindikasikan sifat pembaharu (tajdidiah).
Pemikiran pembaharuan Muhammadiyah bersifat
puritanisme dalam hal keimanan (aqidah) akan tetapi bersifat moderat dalam
konsep operasional dan tindakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin, MT. 1987. Gagasan
Pembaharuan Muhammadiyah. Jakarta
: Dunia Pustaka Jaya
Burhani, Ahmad Najib. 2010. Muhammadiyah Jawa. Jakarta
: Al-Wasat Publishing
House
Su’ud, Abu, Prof. DR. H.. 2004. KE MUHAMMADIYAH AN, Yogyakarta : Pustaka SN
[1]
Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa,
h 11
[2] MT. Arifin. ,
Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, h
26
[3]
Membaca syahadat sebagai persaksian terhadap Keesaan Allah sebagai Tuhan dan
persaksian terhadap Muhammad sebagai utusann-Nya.
[4] Pimpinan
Pusat Muhammadiyah, KE-MUHAMMADIYAH-AN,
h 59
[5] Nama Ahmad Dahlan diperoleh dari
seorang syekh penganut mazhab Syafii, Sayyid Bakri Syaththâ setelah menunaikan
ibadah haji. Ada
dua kemungkinan diberi nama baru, mungkin sangan diharapkan oleh Sayyid Bakri
Syaththâ untuk mewarisi ajaran Aħmad ibn Zainî Daħlân yang menyebarkannya ke Indonesia .
Aħmad ibn Zainî Daħlân ialah mufti paling penting dan disegani di Mekah.
[6]
Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa,
h 55
[7]
Menurut Pijper, kauman yang dekat dengan masjid itu dimungkinkan sebagai
penjelmaan dari keinginan untuk dekat dengan sesuatu “yang suci”.
[8] Kampung tempat masjid itu diberi nama
Kauman karena daerah itu merupakan tempatnya para abdi dalem santri dan ulama
yang bertugas memelihara masjid.
[9]
Persamaan arti istilah ulama dengan intelektual dikemukakan oleh Dr. amien Rais
dalam pngkajian dan diskusi Tafsir-murni di Universitas Muhammadiyah Surakarta
pada tanggal 7 Februari 1985.
[10]
Ilmu yang didalami Dahlan antara lain: qira’ah,
tafsir, hadits, tasawwuf, fiqh, dan qawa’d.
[11] Ketib
Amin adalah Ketib yang dapat dipercaya
[12]
Kiblat merupakan suatu arah hadapan dalam melaksanakan salat, yaitu hadapan
yang menghubungkan tempat salat serta yang mengerjakan ibadah langsung
“menghadap” ke baitullah.
[13]
Al-Qur’an, Surat
an-Nisa’:103
[14]
Pertemuan ini dilakukan di langgar Kyai Haji Ahmad Dahlan.
[15]
peng-Esa-an Allah
[16] secara
membabi buta percaya pada keterangan seseorang tanpa dengan mengetahui
landasannya yang primer.
[17] Bid’ah biasanya muncul karena ingin
memperbanyak ibadah, akan tetapi kurang pengetahuan, maka yang dilakukannya itu
bukan yang sebenarnya sebagaimana diperintahkan Islam.
[18] Khurafat adalah kepercayaan tanpa
pedoman yang syah, melainkan hanya ikut-ikutan orang tua atau nenek moyang.
[19] Talqin adalah upacara pembacaan doa dan
nasihat kepada si mati setelah upacara penguburan mayat, dengan menggunakan
bahasa Arab yang sering pula diartikan.
[20]
Organisasi yang didirikan oleh kaum elit intelektual berpendidikan Barat untuk
“kemadjoean dan kemoeliaan akan bangsa dan tanah toempah darah”.
[21] Berarti
mengikuti (menjadikan Nabi Muhammad sebagai teladan yang baik).
[22]
Berarti suatu cara berpikir sering dipergunakan untuk mengambil makna peristiwa
masa lampau melalui penarikan kesimpulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar