Sabtu, 05 Januari 2013

Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah

Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah

oleh : Parlina Susi Siswanti


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Muhammadiyah di Indonesia dikenal sebagai organisasi gerakan social keagamaan, kemanusiaan dan pendidikan. Hamper di setiap daerah perkotaan dapat ditemukan berbagai amal usahanya, baik yang berupa lembaga peribadatan, rumah sakit, panti asuhan maupun lembaga pendidikan. Secara awami pusat kegiatan sosial yang telah mapan di dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Muhammadiyah merupakan organisasi yang mampu berkembang dalam waktu yang relative singkat, Sejarah berdirinya suatu organisasi tidak dapat dipisahkan dari gagasan dan pikiran pendirinya. Sebab orang-orang yang kemudian bergabung menjadi anggota secara sadar telah menyepakati dasar dan tujuan organisasi tersebut yang pada hakikatnya merupakan perwujudan dari gagasan para pendirinya.
Gagasan Ahmad Dahlan yang terpilih adalah bagaimana dapatnya mengamalkan ayat-ayat al-Qur`an. Dengan demikian Muhammadiyah sebagai organisasi senantiasa diikhtiarkan untuk menjadi tempat untuk mengkaji Al-Qur`an sekaligus menjadi tempat bermusyawarah untuk mengamalkannya.
Dengan demikian warga Muhammadiyah masih perlu mempelajari gagasan dan pikiran KH. Ahmad Dahlan. Terutama yang berkaitan dengan Ibadah Sholat tepat waktu dan pengamalan ayat-ayat Al-Qur`an, hal itu tidak dimaksud untuk mengikuti jejaknya secara dokmatik tetapi untuk memberi makna kreatif guna penerapannya pada masa kini. Sebab gagasan dan pikiran KH. Ahmad Dahlan jelas merupakan gagasan dan pikiran kreatif dan inovatif.

1.2  Rumusan Masalah
Untuk itu, persoalan pokok diatas dapat distribusikan menjadi masalah epistemologi yang lebih khusus sebagai berikut :
1.      Bagaimana proses Islamisasi  di Jawa?
2.      Bagaimana proses terbentuknya Muhammadiyah? Dan apa yang menyebabkan adanya Gerakan Muhammadiyah?
3.      Apa saja gagasan pembaharuan Muhammadiyah?
4.      Bagaimana perkembangan pemikiran pembaharuan?
1.3  Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menginformasikan sejarah awal Islamisasi Jawa, pembentukan Muhammadiyah dan gagasan-gagasan pembaharuan Muhammadiyah serta perkembangannya.





























BAB II
Pembahasan

2.1 Islamisasi Jawa : Perkembangan dan Transformasi Keagamaan
            2.1.1. Perluasan agama Islam
Islam-Jawa atau Jawa-Islam adalah kombinasi yang unik. Dalam budaya Jawa memadukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu, Buddha, dan Islam. Konsep identitas budaya terbenguun secara sosial dalam konteks histories dan geografis, yang berubah seiring dengan waktu.[1]
Sering terdengar kesepakatan di kalangan sementara ahli sejarah bahwa Islam mulai mmasuki kehidupan orang jawa sejak tumbuhnya kerajaan-kerajaan besar di bagian timur pulau Jawa (dititikberatkan pada daerah tengah dan timur). Kuatnya kerajaan Majapahit bagi Islam ternyata tidak hanya memiliki arti luas bagi pembangunan suatu gaya hidup yang selaras dengan pandangan Jawa-Hindu,melainkan paralel dengan proses tersebu ternyata telah menyebabkan Majapahit harus meningkatkan intensitas hubungan dengan Negara lain, dan hubungan tersebut memberikan kesempatan yang positif bagi orang jawa ke dalam agama Islam.[2]
Kerajaan Majapahit menguasai laut dan pantai-pantai penting di sekitar Jawa, di sana terjadi perdagangan yang yang kemudian lambat laun menjadi pusat perniagaan. Kemudian banyak bermunculan kerajaan-kerajaan kecil di bagian utara pulau Sumatera, sementara itu para saudagar Islam dari daerah Asia Barat berhasil menguasai jalur perekonomian daerah itu dengan membawa agama Islam. Para pedagang Islam yang biasanya adalah laki-laki itu menjadi orang yang dihormati penduduk karena memiliki status ekonomi yang lebih baik, sehingga banyak orang tua yang ingin menikahkan puteri mereka, dan untuk itu, para calon istri harus di-Islam-kan dulu dengan cara membaca syahadat[3]. Islam adalah agama yang membebaskan mereka dari kultur yang mengakui adanya “stratifikasi pemeluk agama” yang membedakan kedudukan dan status antara kalangan atas dan kalangan bawah. Ditambah lagi dalam Islam tidak ada upacara-upacara tertentu yang rumit.
Sehingga penduduk yang memeluk agama Hindu-Buddha merasa senang pindah agama.sedang dari segi ekonomi, perpindahan keagaan itu sangat menarik karena akan mampu mengundang para pedagang Muslim dalam jumlah yang lebih besar.

2.1.2. Politik Pemerintah Hindia Belanda terhadap Islam
Melihat peranan Islam dalam masyarakat desa, maka pemerintah Hindia Belanda menyadari bahwa agama Islam merupakan ancaman bagi kedudukannya. Sebagai penguasa yang ingin mempertahankan kekuasaannya, maka pemerintah colonial berkeinginan menciptakan stabilitas social pedesaan den menghantikan kegiatan yang mencerminkan berbagai bentuk keresahan sosial yang dipimpin oleh Islam.
Untuk kepentingan tersebut maka pertama-tama yang dilakukan adalah dengan melakukan pembatasan bagi jemaah haji (usaha eksternal). Dan usaha yang bersifat internal adalah program asosiasi (program Westernisasi) dan program Kristenisasi (Kristening Politiek (digagas oleh Gubernur Jendral Idenburg) ). Program asosiasi adala program pembudayaan dalam bentuk mengembangkan kebudayaan Barat sedemikian rupa sehingga orang Indonesia mau menerima kebudayaan Barat. Sedangkan program Kristenisasi yaitu program yang ditujukan untuk mengubah agama penduduk yang Islam maupun bukan Islam menjadi Kristen. Dengan adanya program ini, sejarah mencatat bahwa setelah tahun 1909 kelompok-kelompok misi Kristen ini sangat cepat memperluas kegiatan mereka di daerah kepulauan.
Bangsa Hindia Belanda menganggap selama mereka yang masih menampakkan keislamanannya, mereka tidak dapat disebut sebagai orang modern, orang yang berkemajuan, dan sebagainya.[4] Realitas yang demikian telah mendorong Islam bangkit sebagai kekuatan social dan politik secara nyata yang dianggap mewakili kalangan pribumi dalam menentang kehadiran Belanda melalui organisasi modern.


2.1.3. Gerakan Pembaharuan Islam
Berbagai peristiwa sejarah yang terjadi di Jawa telah menimbulkan lahirnya gerakan-gerakan yang mengarah ke corak kebangsaan. Superioritas orang kulit putih yang terkalahkan oleh orang kulit berwarna memunculkan organisasi-organisasi di Jawa. Pada sekitar tahun 1905 lahirlah Jami’atul Khair di Jakarta. Kemudian muncul pula organisasi yang didirikan oleh kaum terpelajar, seperti Budi Utomo ( 1908), Sarekat Dagang Islam (1911), Muhammadiyah (1912), dan lain-lain.
Maka, untuk sementara dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya keadaan sosio-kultural dan politik yang ada di Jawa selama akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah mendorong tumbuhnya pemikiran baru pada pemimpin Islam untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan yang bersifat fundamental dan metodis.

2.2 KH. Ahmad Dahlan dan Purifikasi Islam Jawa : Muhammadiyah
2.2.1. Latar Belakang Kehidupan dan Pemikiran KH. Ahmad Dahlan
Kyai Haji Ahmad Dahlan pada masa mudanya bernama Muhammad Darwisy.[5] Ia lahir pada 1868. Ia berasal dari keluarga berpengaruh dan terkenal di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Ayahnya, Kyai Haji Abu Bakar bin Kyai Mas Sulaiman ialah seorang ketib, seorang abdi dalem. Ibunya, Siti Aminah ialah putri seorang penghulu ( kepala abdi dalem pamethaan ), Kesultanan Yogyakarta, yaitu Haji Ibrahim bin Kyai Haji Hasan. Genealogi ini menunjukkan bahwa tak ayal Ahmad Dahlan ialah keturunan keluarga kyai-priyayi.[6]
Ia tinggal di Kauman[7], yang dikenal sebagai daerah lingkungan santri. Kauman berasal dari bahasa Arab “qaum” yang bermakna “pejabat keagamaan” atau abdi dalem santri.[8]
Dahlan kecil mendapat pendidikan dari ayahnya, ia diajar untuk menghafal sifat-sifat Allah dan membaca Al-Qur’an. Ia tidak dikirim ke lembaga pendidikan formal yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda yang dikenal dengan sekolah Gubernemen, karena akan dianggap kafir oleh masyarakat.
Selain itu ia juga belajar berbagai ilmu dari beberapa guru agama, antara lain Kyai Haji Muhammad Saleh Darat Semarang, dan Kyai Haji Abdul Hamid Lempuyang. Guru umumnya antara lain R.Ng. sosrosoegondo dan R. wedana Dwijiosewojo. Kitab-kitab yang ia pelajari adalah kitab-kitab yang berhubungan dengan ilmu fiqh (hukum Islam), ilmu nahwu (sintaksis bahasa Arab), ilmu falaq (astronomi dan geografi), serta qira’ah (seni membaca Al-Qur’an), dan ilmu hadits (nilai-nilai ketradisian Nabi Muhammad).
Kabarnya ayah Darwisy menikahkannya dengan Siti Walidah, putrid Kyai Haji Muhammad Fadhil, seorang penghulu Yogyakarta, pada 1889. Pada usia 22 tahun, ia dikirim ayahnya ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam pengetahuannya tentang Islam. Sepulangnya ke Kauman ia membantu ayahnya mengajar keagamaan kepada orang-orang yang usianya lebih tua dari dirinya sendiri. Karena kepercayaan masyarakat yang besar padanya, dan ia adalah orang yang taat beragama serta baik dalam ilmu maupun budi, ia digelari dengan sebutan “Kyai”. Lengkapnya Kyai Haji Ahmad Dahlan.
Sebagai seorang kyai, maka Dahlan dikategorikan sebagai ngulomo (ulama), yaitu orang yang saleh dan menekuni serta memiliki wawasan keilmuan tentang agama Islam. Istilah tersebut searti dengan istilah intelektual[9]. Di Mekah, Dahlan telah mendalami berbagai ilmu agama[10], namun Dahlan tertarik untuk mendalami ilmu falaq. Itulah sebabnya masyarakat mengenal Dahlan sebagai ngulomo falaq.
Sebagai seorang ulama sekaligus kepala keluarga, Dahlan harus mencukupi kebutuhan-kebutuhan keluarganya, untuk itu ia dimodali ayahnya uang sebesar f 500, yang dipergunakannya untuk modal pertama perdagangan batik. Usahanya semakin maju, sehingga lingkup daerah pemasarannya menjangkau daerah Jawa bagian barat, Jawa bagian timur, bahkan sampai ke daerah Sumatera bagian utara. Melalui perdagangan ini, Dahlan memperoleh perluasan cakrawala berpikir, karena saat ia mendistribusikan barang dagangannya, tak lupa ia mengunjungi ulama setempat untuk bertukar pikiran. Dialog-dialog keagamaan telah mendorong Dahlan untuk mengembangkan berbagai pemikiran tentang re-orientasi pengalaman ajaran agama secara benar, sesuai dengan semangat dan ajaran aslinya. Pemikiran ini memperoleh tanggapan yang berbeda-beda. Terlepas dari itu, kegiatan tersebut merupakan suatu keaktifan social yang memberi peranan besar untuk membangun semangat sebagai kekuatan baru bagi pengembangan pemikiran pembaharuan, karena kemakmuran akibat keuntungan yang diperoleh serta dialog-dialog merupakan suatu hal yang mendukung terciptanya kebebasan berpikir. Melalui perdagangan dapat mengembangkan rasa persaudaraan dan sebagai forum penyebarab pemikiran dan rasa keagamaan. Dahlan menganjurkan pada para ulama yang diajaknya berdialog agar mereka memperbaiki umat Islam dan meningkatkan pengetahuannya.

2.2.2. Gagasan Pembaharuan dan perjuangan Dahlan
Pada tahun 1896, ayah Dahlan meninggal dunia, sehingga Ahmad Dahlan ditunjuk sebagai ketib di Masjid Agung Kauman, Yogyakarta. Dengan pengangkatannya itu, ia berkedudukan sebagai seorang pejabat tinggi keagamaan di lingkungan Kesultanan Yogyakarta, karena ia merupakan abdi dalem santri yang bekerja di bawah pimpinan Kanjeng Raden Tumenggung Penghulu, juga merangkap sebagai anggota Dewan (Raad) Agama Islam hukum Kraton. Salah satu tugasnya adalah memimpin grebeg (upacara kerajaan) yang dilaksanakan 3 kali : grebeg maulud atau sekaten (peringatan kelahiran Rasulullah), grebeg besar (peringatan Hari Raya Idul Qurban), dan grebeg pasa (menyatakan rasa syukur atas telah berhasilnya menunaikan ibadah puasa Ramadhan). Ia berkhutbah satu kali dalam satu bulan, sisanya digunakan untuk berdagang dan memperdalam serta menyebarluaskan ilmu dan agama melalui berbagai forum pengajian. Tak berapa lama ia mendapat gelar Ketib Amin[11].
Dahlan merupakan orang yang giat dalam hal menuntut ilmu, ia telah menunjukkan prestasi diri sejak awal kariernya, namun yang demikian memberi dampak yang tidak kecil atas penyebaran gagasan-gagasannya yang nantinya akan dikemukakan kepada masyarakat. Meskipun gagasan-gagasannya berbeda dengan pemikiran keagamaan masyarakat zaman itu yang mempunyai landasan pemikiran yang principal dipandang dari sudut filsafat ilmu, karena dalam pada itu Dahlan sudah mendahului pemikiran untuk menerapkan kebebasan berpikir yang berpangkal dari keyakinan Qur’aniyah guna meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber aslinya (Al-Qur’an) dengan penafsiran yang bersesuaian dengan akal pikiran sehat yang dapat dipertanggungjawabkan secara kaidah berpikir keilmuan. Hal itu bermula dari upaya Dahlan menerapkan aksiologi ilmu falaq yang didalaminya untuk reformulasi konsep kiblat (qiblat).
Kiblat berarti arah[12]. Konsep ini dalam Islam berkaitan dengan pelaksanaan syariat agama, yang berupa ibadah salat[13]. Salah satu kejadian penting yang terkait erat dengan posisi Dahlan sebagai ulama dan abdi dalem adalah saat ia berpendapat bahwa arah kiblat Masjid Agung Yogyakarta tidaklah tepat, sehingga menyarankan dibuatnya arah kiblat yang baru. Bagi Dahlan hal ini sangatlah penting, karena berdasar penerapan pengetahuan empiris yang dimilikinya keadaan tersebut dapat mempengaruhi kesempurnaan ibadah salat seluruh umat Islam yang ada di daerah Jawa ini. Untuk menyatakan gagasan itu, pada akhir tahun 1897 ia mengedarkan surat undangan kepada para ulama di daerah Yogyakarta, dan pada awal tahun 1898 pertemuan untuk tukar pikiran tentang gagasan modifikasi kiblat salat dapat dilaksanakan[14]. Dahlan memiliki beberapa murid yang setia padanya, Setelah melalui perjalanan panjang akhirnya masalah kiblat dapat diatasi.
Gagasan-gagasan Dahlan sebagai aksidental dari ilmu yang didalami, ketelasanannya sebagai Ketib Amin, serta usahanya yang sungguh-sungguh untuk melakukan sosialisasi ide melalui forum keilmuan yang berlaku di kalangan umat Islam yang ada pada waktu itu, telah menyebabkan gagasan pembaharuan Dahlan mempunyai pengaruh yang besar, dan berkenan dipahami oleh Sultan sebagai pemegang otoritas tertinggi di segala bidang kehidupan daerah Kesultanan. Kesediaan Sultan untuk dapat menerima gagasan pembaharuan sebagai aksidental ilmu itu terjadi pada saat penentuan waktu jatuhnya Hari Raya “Idul Fitri”.
Meskipun Dahlan memiliki gagasan yang progresif disbanding pemikiran lingkungan, akan tetapi cara dan gaya Dahlan dalam menyampaikan gagasannya, ia akrab dengan lingkungan. Keakraban ini didasarkan atas kesadaran Dahlan tentang dirinya di tengah lingkungan tatanan konsentrisme. Sehingga meskipun ia berusaha menerobos tatanan tersebut namun karena ia menyadari posisinya secara proporsional sebagai seorang abdi dalem, serta kesadarannya tentang kultur merupakan bagiandari kehidupan, sehingga dalam menyampaikan gagasannya tetap menghormati system social yang berlaku, serta gagasannya itu tidak pernah menyerang personal melainkan hanya  mengemukakan pemikiran alternative yang lebih dapat dipertanggungjawabkan, karena memang merupakan aksidental ilmu pengetahuan yang diterapka untuk menafsirkan dan meluruskan praktik keagamaan.
Nilai kebebasan berpikir Dahlan yang bersandar pada suatu disiplin pengetahuan guna memberikan pemikiran alternative merupakan suatu pembaharuan berpikir yang sangat bernilai, mengingat bahwa sejak pra-berdirinya Muhammadiyah ternyata telah bersemai cara berpikir menjauhi budaya “mencari selamat”.
Dengan demikian maka jelas bahwa nilai pembaharuan Dahlan sejak awalnya menunjukkan pentingnya peranan ilmu pengetahuan bagi pembaharuan masyarakat dengan mengetengahkan pemikiran stabilisasi politik tanpa dengan mempertahankan keadaan status quo. Dilihat dari spektrum pembaharuan hal itu merupakan suatu rekonseptualisasi pemikiran keagamaan yang sangat mendasar bagi kebangkitan paham modernisme Islam di kalangan masyarakat Jawa yang umum mendambakan kehidupan yang tidak menonjolkan sikap pertentangan. Mungkin faktor inilah yang menyebabkan akhirnya perubahan pandangan dapat diterima oleh Sultan dalam jarak waktu yang relative singkat.

2.2.2.1. Pengaruh Modernisme Islam
Sebagai akibat sampingan dari keberanian Dahlan mengemukakan gagasan pembaharuan dalam masyarakat Jawa yang konformis, serta keberhasilan dia meneroboskan gagasannya kepada Sultan, ia diasingkan dan puncaknya langgar-nya dibongkar, sehingga pada saat keberangkatannya ke Mekah untuk kedua kalinya pada tahun 1903, tersebar desas-desus di kalangan keraton dan kolonial Belanda bahwa Dahlan dibuang Sultan. Dahlan makin memperdalam pemikiran keagamaan Ibnu Taimiah dan Muhammad Abduh (para modernis Islam) yang menitikberatkan pada pemurnian Tauhid[15] melalui suatu pemikiran dan penelitian yang didasarkan atas epistemology, sehingga tidak beriman secara taqlid[16].
Pemikiran keagamaan tokoh modernis ini bersesuaian dengan pandangan dan pemikiran Dahlan yang berkeinginan melakukan perbaikan kehidupan keagamaan masyarakat Jawa sesuai dengan pemahaman yang benar.
Sepulangnya kembali dari Mekah, Dahlan memperkenalkan gagasan pembaharuannya secara lebih utuh, yaitu gagasan pembaharuan yang merupakan usaha memperbaiki persoalan-persoalan yang manifest namun disadari bahwa keadaan itu bukan sekadar persoalan incidental tetapi memang telah berakar pada akar yang laten, yaitu pandangan dan keyakinan yang menyalahi kebersihan katauhidan, usaha yang mengada-ngada dalam agama, serta usaha yang tidak didasarkan atas pertimbangan rasio yang mandiri.
Pada masa itu praktik keagamaan rusak karena munculnya sikap dan perilaku bid’ah[17]  dan khurafat[18]. Beberapa bentuk bid’ah  dan khurafat yang telah dieliminasi Dahlan adalah upacara slametan. Ia tidak menyetujui adanya pengkeramatan kuburan atau orang suci, upacara tahlil dan Talqin[19]. Dahlan menentang pula kepercayaan pada jimat, pusoko, dan lain-lain. Bagi Dahlan, semua itu merupakan perbuatan syirik. Ajaran-ajaran yang tidak Islam harus diluruskan, untuk itu maka diperlukan pedoman Islam yang berdasarkan Qur’an, selain itu juga memakai dasar sumber komplementer yang berupa hadits, ijma’, dan qiyas.
Beberapa hal yang menurut Dahlan akan menyebabkan orang menolak kebenaran:
1.      kebodohan,
2.      kekurangcocokan dengan pelopor inisiatif kebenaran,
3.      sudah memiliki tradisi atau kebiasaan yang maluriah,
4.      rasa kuatir kalau dengan persetujuan terhadap kebenaran itu akan diisolasikan oleh keluarga dan kalangannya, serta
5.      rasa kuatir akan kehilangan pangkat dan kedudukan atau kesenangannya, atau juga maksud-maksud lainnya.


Beberapa pemikiran Dahlan yang ia sampaikan untuk direnungi dan dibahas secara intelektual atas proposisi:
1.      manusia perlu dan harus beragama,
2.      agama itu tadinya bersinar, makin lama makin suram. Sebetulnya bukan agama itu yang suram, melainkan manusia yang memeluk agama itu,
3.      manusia harus mendasarkan diri pada dasar yang sah, yang sudah cocok dengan pemikiran fitrah, jangan sampai dalam hal yang seperti itu membuat suatu keputusan sendiri,
4.      manusia harus berusaha menambah pengetahuan, jangan sampai merasa puas dengan apa yang sudah berhasil dicapainya, serta
5.      manusia harus mengamalkan pengetahuan itu, jangan sanpai hanya berhenti di teori belaka.

Pemikiran-pemikiran Dahlan pada zamannya terlepas dari sifat konformis pemikiran masyarakatnya. Terutama dalam hal kebebasan berpikir dan menggunakan multi dimension dalam mempelajari Al-Qur’an.
Pada tahun 1905 Dahlan bergabung di organisasi Jami’atul Khair, di sana ia belajar berbagai pengalaman mengenai keorganisasian dan perkembangan ilmu. Selain itu, pada tahun 1909 ia juga menjadi anggota organisasi Boedi Oetomo[20]. Ia tergolong anggota yang aktif, dan belakangan masuk jajaran kepemimpinannya. Sebagai anggota Boedi Oetomo, Dahlan mempunyai gagasan untuk memasukkan pengajaran agama Islam ke sekolah model Gubernemen. Setelah gagasan tersebut disetujui Boedi Oetomo, ia pun mengajar agama Islam di Kweek School Jetis, Yogyakarta, dan di Osvia, Magelang.
Di samping itu, dahlan memiliki keinginan untuk mendirikan sekolah dengan organisasi yang teratur sebagai alternative bentuk-bentuk pesantren. Melalui sekolah itu, diharapkan akan menghasilkan keluaran yang baik, intelektual di bidang agama dan lainnya. Pemikiran imerupakan suatu pembaharuan pendidikan Islam dan pendidikan sekuler sesuai dengan tuntutan sosio-kultural Jawa yang harus menghadapi tantangan pengaruh system pendidikan Barat, sebagai salah satu bentuk kompleksitas masyarakat.

Demikianlah maka pada tahun 1911 Dahlan di tempat kediamannya, Kauman, mendirikan sekolah agama yang menggunakan metode pendidikan Barat yang menggunakan kursi, bangku dalam bentuk klasikal. Dari persoalan pengelolaan model sekolah ini nantinya akan sampai pada pemikiran perlunya dibentuk suatu organisasi tersendiri.

2.2.2.2. Berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan oleh Ahmad Dahlan pada 18 Dzulhijjah 1330 Hijriah atau 12 November 1912 masehi di Yogyakarta. inspirasi di balik pendirian Muhammadiyah tentu saja terkait dengan interaksi social dan kegiatan Dahlan dalam Boedi Oetomo. Juga didasari oleh Al-Qur’an surat ‘Ali ‘Imran ayat 104.  dalam persiapan pembentukan organisasi ini, lagi-lagi kerja sama Dahlan dan Boedi Oetomo terjalin. Anggaran Dasar, tujuan, cita-cita gerakan ini merupakan hasil dialog dan diskusi yang intensif antara Ahmad Dahlan, teman-temannya, dan para anggota Boedi Oetomo.
Untuk mengembangkan Muhammadiyah lebih lanjut padahal ruang gerak Muhammadiyah terbatas di Yogyakarta, maka dibentuklah kelompok-kelompok pengajian dan perkumpulan-perkumpulan yang sejalan dengan Muhammadiyah dalam menjalankan kepentingan Islam.

2.2.2.3. Perkembangan Muhammadiyah
Perkembangan Muhammadiyah mulai meluas karena Dahlan sering diminta memberikan pengajian ke berbagai tempat di Jawa, ini merupakan langkah awal bagi perkembangan Muhammadiyah ke luar daerah Yogyakarta. Karena itu beberapa daerah di luar kota itu meminta untuk dapat mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di kotanya. Kemudian Dahlan meminta izin untuk mendirikan cabang di luar kota pada pemerintah Hindia Belanda. Perluasan cabang ini dipermudah oleh berbagai factor. Antara lain pribadi Dahlan dan caranya berproganda dengan memperlihatkan toleransi dan pengertian kepada para pendengarnya sangat membantu memperoleh sambutan yang memuaskan.
Dengan keluarnya izin dari pemerintah Hindia Belanda maka cabang-cabang Muhammadiyah pun didirikan.
Bagi kelestarian organisasi, Muhammadiyah memprogramkan agar kegiatan-kegiatan yang sifatnya permanent. Maka didirikan lembaga-lembaga social, seperti penyelenggaraan kursus, pendidikan, maupun panti asuhan. Lembaga yang lain adalah Aisyiah, Nasyi’atul-Aisyiyah, Hizbul Wathan, Majelis Tarjih, Pemuda Muhammadiyah, Majelis Pustaka, Tapak Suci, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Untuk memperoleh masukan dari para anggota organisasi, maka dilaksanakan siding tanwir dan muktamar.

2.3. Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah
2.3.1. Gagasan Pembaharuan
2.3.1.1. Sifat Organisasi dan Keterkaitan Budaya
Muhammadiyah merupakan organisasi sebagai alat bagi kepentingan penyebarluasan ajaran agama Islam di daerah Keresidenan Yogyakarta. Secara umum cirri suatu gerakan keagamaan terletak pada motivasi utama yang mendorong munculnya pergerakan melalui diri pemimpin-pemimpinnya.
KH. Ahmad Dahlan dalam berorganisasi berpegang pada prinsip: 
1.      Senantiasa menghubungkan diri (mempertanggungjawabkan tindakannya) kepada Allah.
2.      Perlu adanya ikatan persaudaraan berdasar kebenaran (sejati).
3.      perlunya setiap orang, terutama para pemimpin terus-menerus menambah ilmu, sehingga dapat mengambil keputusan yang bijaksana. 
4.      Ilmu harus diamalkan.
5.      Perlunya dilakukan perubahan apabila memang diperlukan untuk menuju keadaan yang lebih baik.
6.      Mengorbankan harta sendiri untuk kebenaran. Ikhlas dan bersih.
Watak Muhammadiyah yang tidak terpisah dari jiwa lingkungan daerah itu telah menyebabkan Muhammadiyah memiliki daya adaptasi yang didasarkan pada rasa kesadaran lingkungan kultural. Karena watak sosialisasinya itu, Muhammadiyah memiliki gaya pembaharuan Islam yang berbeda dengan gerakan pemurnian Islam lain yang bergerak di bidang social. Peristiwa kesejarahan tersebut memiliki implikasi yang menumbuhkan keyakinan bahwa dalam masyarakat Jawa-Islam itu tidak mungkin bersifat “kulturfeindlich” (memusuhi kebudayaan), dari titik tolak itu diusahakan untuk dapat menemukan kembali cita-cita (modern) dalam Islam.
Muhammadiyah untuk ada pada titik tengah (wasathan) antara garis konformis masyarakat Jawa dengan garis eksklusif gerakan modernisme Islam pada umumnya. Keseimbangan seperti ini yang memberikan cirri khusus Muhammadiyah dalam hal sosio-kultural, kecuali dimensi Tauhid.

2.3.1.2. Gagasan Pemurnian Islam
Menurut keyakinan Muhammadiyah, Islam yang murni adalah keyakinan dan amal keagamaan yang hanya berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Muhammadiyah berusaha mengembalikan pelaksanaan agama Islam sesuai dengan contoh Nabi dengan cara ittiba’[21].
Usaha Muhammadiyah bagi pemurnian Islam itu menggunakan alat organisasi dan kepemimpinan yang mementingkan keutamaan, keikhlasan dan pertanggungjawaban dunia akhirat.

2.3.1.3. Pokok Ide Purifikasi
Pandangan tentang Tuhan telah meletakkan pengertian Tuhan itu bersifat fungsional, yaitu bahwa Allah adalah Tuhan yang mencipta, memelihara, memberi petunjuk, adil, dan belas kasih yang sangat berkelindan sebagai kesatuan yang organis.dengan cara pemberian kesempatan bagi kebebasan berpikir yang diimbangi dengan moralitas yang terpuji dapat memberantas syirik.

2.3.1.4. Ijtihad dan Moralitas Islam
Ide dasar Dahlan, yang kemudian dikembangkan melalui Muhammadiyah, adalah menentang sikap taqlid dan menganjurkan ijtihad guna menentukan kepastian hukum. Ijtihad berasal dari bahasa Arab Jaddada-yujaddidu-tajdidan, yang berarti memperbaharui sesuatu. Dari kata tersebut dibentuk kata ijtihaadan (berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memperbaiki sesuatu).
Muhammadiyah memiliki 2 prinsip kebebasan berpikir, yaitu ijtihad dan istinbath[22].




2.3.1.5. Ideologi dan Etos Kerja
Dalam pembaharuannya, Muhammadiyah telah meletakkan etos kerja yang dilandasi oleh nilai adhikodrati Qur’aniyah. Kenyataan tersebut diungkap dalam rumusan amar ma’ruf nahi munkar.

2.3.2. Perkembangan Pemikiran Pembaharuan
Muhammadiyah telah melalui kemajuan yang luar biasa, sehingga banyak pedagang yang mulai mencela pikiran-pikiran pembaharuan Muhammadiyah, perang panas pun sempat terjadi, namun ada beberapa yang ingin mempertahankan tradisi selayaknya upacara keagamaan, namun aspirasi tersebut ditolak sehingga mereka membentuk Nahdlatu’l Ulama yang masih berusaha mempertahankan dan mengembangkan praktik keagamaan Islam masyarakat tradisional yang disebut bid’ah.

2.3.2.1. Dua Belas tafsir langkah Muhammadiyah
Rumusan konsep pemikiran pembaharuan itu meliputi: (1) Memperdalam masuknya iman, (2) Memperluas paham keagamaan, (3) Membuahkan budi pekerti, (4) Menuntun amalan intiqad (corrective), (5) Menguatkan persatuan, (6) Menegakkan keadilan, (7) Melakukan kebijaksanaan, (8) Menguatkan Majlis Tanwir, (9) Mengadakan konferensi bagian, (10) Memusyawarahkan keputusan, (11) Mengawaskan gerakan jalan, dan (12) Mempersambungkan gerakan luar.

2.3.2.2 Kepribadian Muhammadiyah
Menurut rumusannya, Muhammadiyah memiliki 10 sifat spesifik, yaitu: (1) banyak  beramal dan berjuang, untuk perdamaian dan kesejahteraan, (2) memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah, (3) lapang dada, luas pandangan dengan memegang teguh ajaran Islam, (4)  bersifat keagamaan dan kemasyarakatan, (5) mengindahkan segala hukum, undang-undang, aturan serta dasar dan falsafah Negara yang sah, (6) Amar ma’ruf nahi munkar, (7) aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud ishlah dan pembangunan sesuai dengan ajaran Islam, (8) Kerja sama dengan golongan Islam manapun juga, (9) membantu pemerintah serta bekerja sama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun negara, (10) bersifat adil serta korektif ke dalam dan luar kebijaksanaan.

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Ditinjau dari suatu organisasi pembaharuan, pemikiran pembaharuan Muhammadiyah sangat ditentukan oleh berbagai factor, sebagaimana halnya semua gejala social. Peristiwa ini dapat ditempatkan di dalam konteks perkembangan masyarakat, baik dari kelembagaab social, politik maupun keagamaan.
Seperti yang telah ditunjukkan, di dalam Muhammadiyah terdapat tradisi untuk melakukan usaha pemurnian ajaran agama sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, dan tradisi itu mendorong Muhammadiyah untuk selalu mengembangkan pemikirannya sehingga usaha tersebut dapat direalisasi. Pengembangan pemikiran untuk merealisasi pemurnian Islam itu selalu tumbuh, karena pemurnian ajaran Islam yang bersumber pada Tauhid akan direfleksikan dalam sikap ijtihadiah, moralitas, dan etos kerja dalam bentuk perubahan dan inovasi kelembagaan social.
Ciri yang paling menonjol sejak awal berdirinya Muhammadiyah adalah penolakan terhadap pemikiran yang bersifat sinkretik dalam hal kepercayaan kepada Tuhan dengan segala perwujudannya, serta sifat bid’ah dan khurafat dalam amal ibadah. Salah satu unsure fundamental dari penolakan tersebut diwujudkan dalam bentuk konsepsi dan amaliah nyata bagi purifikasi ajaran keagamaan dengan mengembalikan otoritas Qur’an dan Sunnah sebagai sumber primer. Usaha purifikasi terseut diimplementasikan dalam tradisi berpikir bebas (ijtihadiah) yang didukung oleh alat Bantu berpikir keilmuan.
Dari tradisi itu terlahir suatu profil manusia dan oraganisasi yang merefleksikan keterpaduan antara kebebasan berpikir dengan dimensi keagamaan, dari profil semacam itu besar kemungkinan akan melahirkan perilaku yang mengindikasikan sifat pembaharu (tajdidiah).
Pemikiran pembaharuan Muhammadiyah bersifat puritanisme dalam hal keimanan (aqidah) akan tetapi bersifat moderat dalam konsep operasional dan tindakan.



DAFTAR PUSTAKA


Arifin, MT. 1987. Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah. Jakarta : Dunia Pustaka Jaya

Burhani, Ahmad Najib. 2010. Muhammadiyah Jawa. Jakarta : Al-Wasat Publishing
House

Su’ud, Abu, Prof. DR. H.. 2004. KE  MUHAMMADIYAH AN, Yogyakarta : Pustaka SN




[1] Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa, h 11
[2] MT. Arifin., Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, h 26
[3] Membaca syahadat sebagai persaksian terhadap Keesaan Allah sebagai Tuhan dan persaksian terhadap Muhammad sebagai utusann-Nya.
[4] Pimpinan Pusat Muhammadiyah, KE-MUHAMMADIYAH-AN, h 59
[5] Nama Ahmad Dahlan diperoleh dari seorang syekh penganut mazhab Syafii, Sayyid Bakri Syaththâ setelah menunaikan ibadah haji. Ada dua kemungkinan diberi nama baru, mungkin sangan diharapkan oleh Sayyid Bakri Syaththâ untuk mewarisi ajaran Aħmad ibn Zainî Daħlân yang menyebarkannya ke Indonesia. Aħmad ibn Zainî Daħlân ialah mufti paling penting dan disegani di Mekah.
[6] Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa, h 55
[7] Menurut Pijper, kauman yang dekat dengan masjid itu dimungkinkan sebagai penjelmaan dari keinginan untuk dekat dengan sesuatu “yang suci”.
[8] Kampung tempat masjid itu diberi nama Kauman karena daerah itu merupakan tempatnya para abdi dalem santri dan ulama yang bertugas memelihara masjid.

[9] Persamaan arti istilah ulama dengan intelektual dikemukakan oleh Dr. amien Rais dalam pngkajian dan diskusi Tafsir-murni di Universitas Muhammadiyah Surakarta pada tanggal 7 Februari 1985.
[10] Ilmu yang didalami Dahlan antara lain: qira’ah, tafsir, hadits, tasawwuf, fiqh, dan qawa’d.
[11] Ketib Amin adalah Ketib yang dapat dipercaya
[12] Kiblat merupakan suatu arah hadapan dalam melaksanakan salat, yaitu hadapan yang menghubungkan tempat salat serta yang mengerjakan ibadah langsung “menghadap” ke baitullah.
[13] Al-Qur’an, Surat an-Nisa’:103
[14] Pertemuan ini dilakukan di langgar Kyai Haji Ahmad Dahlan.
[15] peng-Esa-an Allah
[16] secara membabi buta percaya pada keterangan seseorang tanpa dengan mengetahui landasannya yang primer.
[17] Bid’ah biasanya muncul karena ingin memperbanyak ibadah, akan tetapi kurang pengetahuan, maka yang dilakukannya itu bukan yang sebenarnya sebagaimana diperintahkan Islam.
[18] Khurafat adalah kepercayaan tanpa pedoman yang syah, melainkan hanya ikut-ikutan orang tua atau nenek moyang.
[19] Talqin adalah upacara pembacaan doa dan nasihat kepada si mati setelah upacara penguburan mayat, dengan menggunakan bahasa Arab yang sering pula diartikan.
[20] Organisasi yang didirikan oleh kaum elit intelektual berpendidikan Barat untuk “kemadjoean dan kemoeliaan akan bangsa dan tanah toempah darah”.
[21] Berarti mengikuti (menjadikan Nabi Muhammad sebagai teladan yang baik).
[22] Berarti suatu cara berpikir sering dipergunakan untuk mengambil makna peristiwa masa lampau melalui penarikan kesimpulan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar